Mengubah Paradigma Pendidikan Tinggi di Indonesia

Tri dharma perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian (masyarakat). Pendidikan merupakan suatu proses memfasilitasi peserta didik dengan sarana dan lingkungan yang kondusif bagi pengembangkan dan peningkatkan kompetensi di bidang akademik dan non-akademik sehingga tercipta Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, bermoral, dan berguna tidak hanya bagi dirinya namun juga masyarakat secara luas.
Sedangkan penelitian atau riset adalah suatu proses pencarian sebuah pengetahuan atau investigasi yang sistematis mengenai suatu hal untuk membentuk suatu fakta. Tujuan utama dari penelitian adalah menemukan, menafsirkan, dan mengembangan suatu metode dan sistem untuk kemajuan pengetahuan manusia dalam berbagai hal ilmiah dari dunia kita dan alam semesta. Penelitian bisa menggunakan metode ilmiah, namun tidak harus.
Apabila peserta didik telah mendapatkan pendidikan dan melakukan penelitian selama mengenyam proses pendidikan tersebut, diharapkan mereka dapat mengabdikan ilmu dan pengetahuan yang mereka peroleh kepada masyarakat secara luas.
Melihat tri dharma pendidikan tinggi Indonesia tersebut tampaklah gambaran besar bahwa pendidikan tinggi di Indonesia lebih mengarahkan peserta didik ke arah penelitian yang diharapkan melalui temuan-temuannya di lapangan mampu diaplikasikan ke masyarakat secara luas. Namun demikian, hendaknya perlu kita tanyakan kepada diri masing-masing: berapa banyak dari peserta didik yang setelah lulus perguruan tinggi ingin mengabdikan hidupnya menjadi seorang peneliti?
Indonesia saat ini tengah didera berbagai macam tantangan ekonomi dari dalam maupun luar. Berlakunya AFTA 2010 sejak 1 Januari 2010 hanya berarti satu hal: tidak hanya barang bermerk luar negeri tapi juga SDM asing akan bebas memasuki kancah persaingan ekonomi di Indonesia. Apabila SDM lokal tidak dipersiapkan untuk menghadapi SDM asing tersebut dikhawatirkan angka pengangguran semakin meningkat dan jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar.
Pengangguran di Indonesia seyogyanya diakibatkan oleh ketidakcocokan antara ilmu yang dipelajari selama mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan dengan aplikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh pencari tenaga kerja. Kurang fokusnya mata pelajaran yang diajarkan di bangku perkuliahan turut menyumbang keterpurukan ini sehingga ketika lulus, para mahasiswa sering kali bingung akan kompetensi yang dimilikinya dan pada akhirnya menemui kendala untuk memenuhi beberapa kriteria perekrutan karyawan yang biasanya terdapat di kolom lowongan pekerjaan pada koran.
Menyikapi hal tersebut di atas, perlu diadakan penyesuaian kembali terhadap tujuan akhir dari pembinaan peserta didik selama menempuh jenjang perkuliahan. Tujuan akhir tersebut menyangkut penciptaan SDM yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar; tidak hanya berbekal kemampuan untuk meneliti namun juga memiliki skills tertentu untuk diaplikasikan kepada sektor-sektor perekonomian bangsa. Dengan demikian, perguruan tinggi saat ini harus mampu memfasilitasi peserta didik tidak hanya dengan teori saja namun juga kemampuan tepat guna sehingga tidak terjadi pengangguran.
Kemampuan tepat guna ini berhubungan dengan praktik lapangan yang bertujuan untuk mensinergikan hal yang dipelajari di dalam kelas dengan hal yang benar-benar terjadi di lapangan. Sayangnya, praktik lapangan atau yang lebih dikenal sebagai magang kerja ini tidak benar-benar diimplementasikan secara menyeluruh di sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia alias hanya program pilihan saja. Alhasil, peserta didik baru mengetahui apa yang benar-benar terjadi di lapangan ketika mereka lulus perkuliahan. Dan ketika mereka mengetahui, mungkin saja sudah terlambat...
Satu hal yang turut disesalkan dari pandangan masyarakat Indonesia mengenai perguruan tinggi saat ini adalah pendidikan sangat erat dengan fasilitas. Fasilitas hebat seperti gedung perkuliahan yang mewah lengkap dengan kolam renang, arena futsal indoor dan banyak lagi fasilitas mewah yang lebih bersifat non akademik lainnya menjamin lulusan yang berkualitas pula. Apabila masyarakat kita mau jauh-jauh datang ke universitas-universitas di India, masyarakat kita bisa melihat bahwa universitas-universitas tersebut jauh dari kesan mewah. Gedung-gedung lama tanpa Air Conditioner (AC) serta fasilitas seadanya namun yang menabjubkan adalah universitas-universitas tersebut menduduki peringkat 100 besar di dunia dan kualitas lulusannya setaraf dengan, semisal, lulusan universitas Harvard, Amerika. Tampaklah di sini bahwa masyarakat India lebih mengedepankan kualitas pendidikan (interior) ketimbang fasilitas (eksterior) karena memang produk dari perguruan tinggi adalah kualitas pendidikan. Bukan Fasilitas!
Artikel ini bertujuan untuk mendobrak sistem-sistem pengajaran konvensional di sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia yang apabila tidak ditangani segera dikhawatirkan dapat menghasilkan pengangguran-pengangguran masa depan yang justru tidak dapat mengimplementasikan poin ke tiga dari tri dharma pendidikan, yakni pengabdian masyarakat.
Melalui artikel ini pula, penulis perlu tegaskan bahwa ada tiga hal penting yang harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi saat ini terutama dalam menghadapi tantangan di era globalisasi: kemampuan bahasa asing (termasuk bahasa Inggris) aktif, pengalaman kerja yang diperoleh ketika mengikuti program magang di perkuliahan, dan, tidak kalah pentingnya adalah karakter yang baik. John wooden, seorang pelatih untuk UCLA, pernah berkata, "Ability may get you to the top, but it takes character to keep you there."

No comments: